Friday, August 25, 2017

TAN MALAKA

Tan Malaka
Merawat Ingatan ; Melawan Lupa 
 
 
 
Tak pernah ada Indonesia tanpa seorang Tan Malaka. Orang orang lebih memuja Soekarno Hatta daripada seorang Tan Malaka. Mereka lebih sering berziarah ke Kalibata daripada ke makam seorang perintis kemerdekaan yang makamnya jauh di pedalaman Desa. Tan Malaka pulalah yang mendorong tokoh pemuda sekaligus pengagumnya, Sukarni agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Sahabat dekat Jendral Soedirman yang berpikiran sama menginginkan Indonesia merdeka 100% dan melawan penjajah tanpa kompromi. Dan Beliaulah yang pertama kali mencetuskan konsep Republik Indonesia lewat Naar de Republiek yang kemudian menjadi pedoman Soekarno Hatta dkk, bahkan mahakarya WR. Soepratman “Indonesia Raya” terinspirasi dari buku Tan Malaka yang berjudul Massa Actie (aksi Massa), yang juga karena kedapatan membaca dan menyimpan buku ini Soekarno dipenjara lebih berat.
 
Perjalanan mengenai pahlawan asal Desa Pandan Gadang tidak jauh dari Suliki, Minangkabau, Sumatera Utara itu belum banyak diungkap secara luas. Begitu hebatnya era orde baru mengkebiri sejarah mengenai Tan Malaka yang gugur secara mengenaskan di tangan bangsa sendiri, Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya. Soekotjo terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Walikota Surabaya, yang kemudian meninggal pada tahun 1980-an. Bahkan saya pribadi tidak pernah menjumpai nama Beliau dalam pelajaran sejarah semasa sekolah, guru guru sejarah saya pun juga tak pernah menyinggung nama Beliau. Entah karea tidak ada dalam kurikulum atau memang karena guru guru sejarah saya saat itu tak punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, atau mungkin memang karena peran guru guru mengajar hanya sebagai mata pencaharian untuk mendapatkan penghasilan, bukan sebagai panggilan untuk mencerdaskan bangsa. Bahkan cukup menyedihkan ketika beberapa waktu yang lalu saya diundang anak anak mahasiswa Universitas PTN ternama di Malang yang dengan terang terangan memberi label komunis juga PKI terhadap sosok Beliau.
 
Nggak ada yang salah dari generasi yang lahir di era orde baru apabila kurang mengenal tentang sosok Tan Malaka, ini karena peran orde baru yang begitu kuat dalam memberikan stempel atheis, kiri, komunis dan PKI pada pribadi Tan Malaka. Hanya saja tidak banyak generasi yang lahir di era orde baru untuk lepas dari kebodohan atau bangkit melawan ketakutan mereka untuk lebih mendalami kebenaran sejarah bangsa. Untuk itu perlunya kita merawat ingatan dalam sebuah gerakan melawan lupa. Cukup sudah kita terdiam memendam ketakutan, saatnya kita bangkit dengan menyuarakan kebenaran.
 
Semua tuduhan terhadap Tan Malaka adalah keliru dan sangat mudah kita mentahkan. Sejak usia 16 tahun Beliau telah menjadi salah seorang hafidz Quran. Pada tahun 1920, belum genap 24 tahun usianya saat itu, Tan sudah menjadi figur prominen di antara kelompok-kelompok kiri setempat. Ia diajukan sebagai kandidat Volksraad atau parlemen di Sumatra Timur. Namun, ia memilih bergelut di antara pergerakan serta pikiran sosialis tak lain karena kepenatannya dengan penindasan terhadap sesamanya di perkebunan-perkebunan Eropa. Lagi pula, apa lagi yang menyediakan perkakas analisis untuk mengungkap praktik eksploitasi oleh Belanda saat itu? Apa yang menyediakannya kesempatan untuk menyuarakan keadilan?
 
Tan pun tak pernah menjadi seorang komunis belaka. Dalam kongres keempat Komintern pada 1922, Tan mengkritik haluan Komintern yang saat itu mengambil pendirian antagonistis terhadap Pan-Islamisme. Sarekat Islam, baginya, dapat menjadi gerakan yang mengembalikan kekuatan kepada para petani yang melarat di bawah kapitalisme kolonial. Islam dapat menjadi kekuatan yang mengembalikan apa yang seharusnya dimiliki orang-orang papa. Tan sendiri, di hadapan sidang tersebut, tak menampik bahwa dirinya adalah seorang Muslim. "Ya, saya katakan,” ujarnya, "ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim.”
 
Tan, jelas, tidak memperlakukan komunisme sebagai satu ideologi. Ia adalah metode. Satu alat berpikir sistematis untuk membedah realitas dan menganalisis bagaimana seyogianya pergerakan digulirkan, pembagian wewenang dilangsungkan, dan pengorganisasian kerja ditata. Ia menggunakannya ketika harus mengkritik Sukarno dan partainya terlalu disibukkan dengan memikat rakyat dengan kata-kata, "grande-eloquence,” dan kehilangan pijakan bagaimana mengorganisir serta mendisiplinkan mereka. Dan, tentu saja, ia menggunakannya untuk menggerakkan orang-orang agar mau berdiri di hadapan kolonialisme Eropa saat itu.
 
Hampir sepanjang hidupnya Tan Malaka berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Rusia yang menguat menjadi Uni Sovyet pernah disinggahinya. Di sana Tan menjadi anggota dari Komunis Internasional (komintern). Jika banyak kaum komunis tunduk pada Joseph Stalin sebagai penguasa Uni Sovyet, Tan dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang berani berbeda dengan Stalin. Ia kemudian dikeluarkan dari Komintern dan dikenal sebagai pemikir yang dicap Trotskys. Setelah ke Rusia, Tan hidup berkelana dengan identitas lain ke Tiongkok, Filipina, dan daerah lain, demi menghindari kejaran aparat kolonial. Tan baru kembali ke Indonesia pada 1942. Ketika itu Hindia Belanda sudah ditekuk kekuasaannya oleh balatentara Jepang. Tan tentu merasa aman dari kejaran aparat kolonial yang sudah tiarap sepanjang Perang Pasifik
Ketika Tan Malaka sudah kembali ke tanah airnya dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata Indonesia belum benar-benar bebas dari Belanda. Ia merasa para pemimpin negara baru ini, yaitu Soekarno, Hatta, dan Sjahrir terlalu lembek terhadap Belanda yang masih terus berusaha menguasai Indonesia. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan dengan adanya proklamasi itu sudah diraih sepenuhnya, jadi tidak perlu melakukan perundingan apapun dengan Belanda. Ia khawatir perjanjian-perjanjian seperti Linggarjati dan Renville justru merugikan Indonesia nantinya.
 
Tan Malaka akhirnya tetap berkeliling dan berjuang mengusir Belanda yang mencoba kembali menyusup ke Indonesia. Beliau pantang berdiplomasi dengan pihak manapun. Baginya, “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya,” Ia juga mendirikan perkumpulan beranggotakan masyarakat yang kecewa terhadap pemerintah Indonesia yang lebih memilih jalur perundingan, padahal masyarakat menilai bahwa Indonesia seharusnya telah merdeka. Pihak pemerintah yang berusaha menekan konflik merasa kerepotan dengan ulah Tan Malaka yang berusaha mempertahankan kemerdekaan ini sehingga ia ditangkap dan dipenjara.
 
Setelah keluar dari penjara, ternyata apa yang ia khawatirkan tentang hasil perundingan tersebut benar-benar terjadi dengan isi perjanjian Renville yang hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia. Tan Malaka yang jengkel kembali melakukan gerakan-gerakan untuk menentang hal ini. Tapi sekali lagi ia malah dianggap pembuat onar, dan kemudian harus gugur karena intrik busuk bangsa sendiri.

Dalam catatan sejarah pergerakan nasional (1908-1945) ideologi komunis memang menjadi salah satu aliran yang berpengaruh dalam usaha-usaha memerdekaan Hindia Belanda dari tangan pemerintahan kolonial. Ideologi Komunis di Indonesia yang berasal baik dari hasil fikir Marx yang diperoleh dari bacaan atas karya-karya Marx atau dari kekaguman terhadap pemikiran Lenin yang diambil dari pola gerakan Bolshevik di Rusia, berkembang pesat dan menjadi motor sejarah pergerakan selain ideologi nasionalis dan Islam. Perkembangan ideologi komunis yang pesat di latar belakangi cara pandang komunisme yang menganggap penjajahan pihak Belanda merupakan kelas borjuis terhadap bangsa Indonesia yang sebagian besar kelas proletar dan harus memperjuangkan kepentingan kelasnya dalam menghadapi kapitalisme Belanda.
 
Perkembangan ideologi komunis dalam masa pergerakan nasional juga tidak dapat dilepaskan dari pada tokoh-tokoh yang aktif menggalang kekuatan massa dan propaganda-propaganda mengenai kelas-kelas sosial. Awalnya, ideologi komunis dibawa oleh Sneevlit, seorang agen Komitern (Komunis Internasional). Sneevlit lantas mendirikan ISDV (Indische Social Democratishce Veregining) dan lantas mengirim anggotanya yang bersifat radikal untuk menginfliltrasi ke dalam tubuh SI. Selain itu, Sneevlit juga mendirikan VSTP (Veereniging van Spoor-en Tramwegpersonel) sebuah organisasi buruh kereta api. Selain Sneevlit, ada Semaun, seorang tokoh radikal yang menginfiltrasi SI dan mampu menjadi ketua SI cabang Semarang dan menjadi salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia.
 
Gerakan kiri dalam sejarah pergerakan nasional nyatanya menjadi satu ruh bagi radikalisasi pergerakan nasional yang pada periode awal abad ke-20 dianggap tumpul. Sebelum muncul gerakan kiri, keinginan untuk mengusir penjajahan Belanda praktis hanya diwakili oleh Indische Partij, itupun dapat dikatakan gerakan kiri jika mengacu pada Douwes Dekker yang seorang sosialis-demokrat. Radikalisasi masa pergerakan nasional memang tidak dapat terlepas dari gerakan kiri yang saya sebut diatas hingga mampu menciptakan mitos Hantu Merah bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
 
Tan Malaka menganut ideologi komunis sebagai dampak kekaguman terhadap Revolusi Oktober di Rusia dan kegemarannya membaca literatur Marxis setelah itu. Tetapi alur perjuangan dan pemikiran Tan Malaka selanjutnya banyak memunculkan konfrontasi antara Tan dengan organisasi komunis yang ada. Selisih pemikiran Tan dengan tokoh-tokoh komunis bukan hanya terhadap gerakan Komunis Indonesia, namun juga dengan tokoh dan organisasi Komunis Internasional (Komitern). Konfrontasi yang terjadi ini akibat perbedaan pemikiran Tan Malaka dengan tokoh-tokoh komunis demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa di Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda.
 
Banyak masyarakat yang menganggap bahwa Tan Malaka merupakan pengkhianat karena membela atau memiliki ideologi yang sama dengan Partai Komunis Indonesia (Partai yang pada zaman Orde Baru sangat dimusuhi dan ideologinya dilarang untuk disebarkan). Namun ternyata disisi lain, bagi pihak komunis Tan Malaka pun dianggap seorang pengkhianat, bahkan beberapa tokoh komunis Indonesia seperti Musso bersumpah akan membunuh Tan Malaka karena dianggap tidak mendukung pemberontakan PKI 1926. Konfrontasi pemikiran Antara Tan Malaka dengan Organisasi Komunis terjadi bukan karena ada perbedaan ideologi, namun lebih kepada perbedaan penafsiran tentang cara-cara menerapkan pokok-pokok pikiran Marx di Indonesia dan cara-cara untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Konfrontasi ini menunjukkan bahwa Tan Malaka sebenarnya merupakan seorang nasionalis tulen yang selalu mementingkan kepentingan bangsanya diatas kepentingan organisasi (partai) maupun ideologi.
 
Tahun 1921 sebuah perpecahan timbul karena kritik yang ceroboh terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agen-agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi perpecahan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani jelata? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir. Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan sangat baik. Jadi kita pecah, dengan alasan itu menurut Tan Malaka, perjuangan antara komunisme dan Pan-Islamisme tidak perlu dipertentangkan. Karena tujuan Pan Islamisme sekarang ini di Indonesia merupakan perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia. Tujuan yang sama dengan apa yang diperjuangkan oleh para pengikut paham Komunisme.
 
Pada November 1922, Kongres keempat Komunis Internasional diadakan. Dalam Kongres ini Tan Malaka diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya menyoal pertentangan komunis dengan gerakan Islam. Menurut Lenin dalam kongres Komitern yang kedua yang menghasilkan draf "Perjuangan melawan Pan Islamisme", organisasi Islam menghambat gerakan komunis di berbagai negara, sehingga hubungan antara Islam dan Komunis tidak dapat dipertahankan lagi. Hal ini lah yang ditentang oleh Tan Malaka. Saat diberi kesempatan untuk memberikan pendapat, Tan Malaka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membela persatuan Komunis dengan gerakan Islam.
 
Menurut Tan persatuan organisasi komunis dengan gerakan Islam di Jawa memiliki sebuah kesamaan yaitu perjuangan melawan kapitasilme Internasional. Bahwa di Jawa, pergumulan Komunisme dengan Sarekat Islam telah mampu memperoleh massa dan melakukan propaganda di dalamnya. Sarekat Islam melakukan agitasi ke pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: "Semua kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar". Ini menunjukkan bahwa Sarekat Islam memiliki propaganda yang sama dengan Partai Komunis, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
 
 
 
Empat belas tahun setelah kematiannya, tepatnya pada 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat nama Tan Malaka sebagai pahlawan nasional Indonesia. Namun 3 tahun kemudian, setelah Soekarno turun dari jabatan presiden (1966) dan digantikan oleh era Orde Baru. Nama Tan Malaka kembali disembunyikan dari sejarah Indonesia, dan bahkantidak pernah disebutkan dalam daftar nama-nama pahlawan nasional di sekolah seluruh penjuru Indonesia selama puluhan tahun bahkan mungkin sampai sekarang. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan keterlibatan Tan Malaka yang sangat kental dengan gerakan kiri, sosialis, atau komunis yang menjadi musuh besar pada era pemerintahan Orde Baru.
 

Saya bertanggung jawab dengan semua tulisan tulisan saya
Bagus Rochadi


Selopanggung, 25 agustus 2017

0 comments:

Post a Comment

Bagus Rochadi. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "