Kopi akan selalu hadir
dalam relasi sosial dalam tingkatan kasta apapun. Tidak bisa ditampik bahwa
para pekerja pada pagi hari lazim menikmati secangkir kopi sebelum memulai
aktivitas menembus kemacetan Ibukota. Kopi tidak bisa dielakkan dalam pilihan
menu dan hidangan hang out di café pada sore hari. Kopi akan
menjadi teman bagi insan yang mencari kekhusyukan sepertiga malam. Sepertinya
tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam setiap relasi sosial kita, kopi
mengambil tempat yang cukup intim.
Ini mengingatkan saya
kepada percakapan mengenai kegiatan menikmati kopi dalam konteks relasi sosial.
Apakah aktivitas menikmati kopi merupakan sebuah budaya atau gaya hidup? Contoh
sederhana yang diajukan adalah kebiasaan orang dewasa di wilayah pedesaan yang
menikmati kopi dalam segala macam bentuk aktivitas sosialnya, mulai dari rumah,
di kebun, di pengajian, bahkan di kedai sekalipun. Kebiasaan menikmati kopi
yang berlangsung turun-menurun ini sudah menjadi budaya. Sementara itu, sebagai
manusia urban, kebiasaan menikmati kopi di tempat-tempat yang spesifik di
wilayah ibukota lebih cenderung dinilai sebagai sebuah gaya hidup. Susah untuk
mempertahankan argumentasi bahwa kegiatan ini adalah “budaya”, ketika menikmati
kopi perlu dilengkapi dengan Wi-Fi gratis yang superkencang, colokan laptop
yang bersliweran, dan suasana café yang cozy.
v60 Technique
Sulit mengakhiri
perdebatan mengenai aktivitas menikmati kopi sebagai sebuah budaya atau gaya
hidup. Habis energi hanya untuk mempertahankan bahwa tubruk itu tradisi asli,
sementara espresso dan cappuccino adalah budaya asing. Relasi sosial dalam kopi
tidak bisa diputus sepihak. Seolah-olah ia hanya menjadi gaya hidup kelas
menengah ibukota ketika dibandrol beberapa puluh ribu rupiah per gelasnya. Atau
menjadi teman rakyat kecil ketika kopi dinikmati di warung kopi selepas
berkebun. Bagi saya pribadi, aktivitas menikmati kopi adalah pembebasan.
Aeropress Technique
Ada keterhubungan relasi
sosial yang jelas dan tidak terputus dalam setiap cangkir kopi yang tersaji di
hadapan kita. Ada harapan dari para petani kopi ketika panen tiba untuk
mendapatkan penghasilan demi membiayai keluarganya. Ada kalkulasi keuntungan
oleh para tengkulak ketika harga biji kopi sedang membaik. Ada penambahan
pendapatan negara ketika kopi sebagai komoditas yang bisa diekspor ke luar
negeri. Ada geliat usaha ketika menjamur franchise, café atau kedai kopi di
banyak tempat. Ada kalkulasi risiko yang dihitung oleh para trader dalam
memantau pergerakan komoditas kopi di antero dunia. Semua aktivitas tersebut
tidak berdiri sendiri, tetapi saling terjalin dan berpilin.
Petani kopi di Batu Malang, Jawa Timur
Lalu, bagaimana soal
menikmati kopi sebagai pembebasan? Pada kondisi hari ini akan lebih penting
untuk memahami bahwa aktivitas menikmati kopi bukan sekadar budaya atau gaya
hidup. Tetapi lebih kepada apa yang ditemukan di setiap teguknya, apa yang bisa
dihayati di setiap cerita relasi sosial di belakangnya. Setiap rasa pahit,
asam, manis, kecut yang dirasakan oleh lidah merupakan keistimewaan menikmati
kopi, namun tersisipkan juga relasi sosial di dalamnya. Sehingga aktivitas
menikmati kopi akan membawa pada lepasnya keterbelengguan otoritas tertentu
yang akan mendikte cara dan preferensi dalam menikmati kopi bahkan memutus
cerita relasi sosial di belakangnya.
Coffee and Lifestyle
Bahwa rasa generik kopi
adalah manis karena dicampur gula atau ritual-ritual tertentu yang perlu
dilewati agar tercipta sensasi menikmati kopi yang asli. Saya kira, ngopi lebih
dari sekedar budaya atau silaturahmi, bahkan bagi kaum muda yang
mendeskripsikan dirinya sebagai masyarakat modern yang kekini-kinian, ngopi
lebih dari sekedar life style. Jadi mari kita rumat budaya ngopi, untuk
menjalin silaturahmi. Setidaknya ketika kita duduk bersama dalam satu meja,
jangan asyik dengan gadget masing – masing. Makna dari ngopi adalah duduk
berbincang menjalin persahabat dan saling memahami satu sama lain.
Thanks to Mr. Park from Coffee Belt in Batu City. Nice place with good coffee and friendship
0 comments:
Post a Comment