Thursday, June 18, 2020

HAATZAAI ARTIKELEN

Jokowi bukanlah satu-satunya pejabat publik yang mendapatkan penghinaan ataupun sebagai objek sasaran kebencian. Bahkan di rezim paling otoriter, ketika Soeharto berkuasa pun ada banyak kasus serupa. Tak sedikit dari mereka yang kemudian harus dihilangkan secara paksa.
Meskipun presiden adalah salah satu simbol negara, akan tetapi seharusnya tidak perlu dipuja secara berlebihan. Bagaimanapun presiden adalah manusia yang jauh dari kata sempurna. 

Untuk menciptakan demokrasi yang berkembang dengan baik, maka diperlukan sistem hukum yang memberikan perlakuan adil dan setara, bukan malah membungkam para kritikus dan pers. Demokrasi membutuhkan kepercayaan dan kerja sama, bahkan pada mereka yang tidak setuju. Jangan sedikit-sedikit penguasa mendapatkan kritik lalu kemudian berujung dilaporkan pada polisi. Ini adalah model-model pemimpin kita mulai arogan, mayoritas tiran atau penguasa kita mulai berpihak pada kekuatan korporasi yang rakus.

Demokrasi kita saat ini mengalami situasi yang kritis, hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat pada kekuasaan. Sedikit-banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara mengkritik pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti-pemerintah. Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan.

Persoalan demokrasi terbesar kita saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan. Tokoh masyarakat yang berkualitas, dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif. Dua dekade setelah Reformasi, partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu. Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih masif. Akhirnya sistem politik nasional diisi oleh kader-kader instan.

Pernah pada unjuk rasa di masa Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai seorang presiden, ada peserta aksi unjuk rasa yang membawa seekor kerbau ke Bundaran Hotel Indonesia. Di kerbau yang ia bawa itu terdapat foto SBY dan tulisan dengan cat putih SiBuYa. Meskipun demikian, SBY tidak pernah ambil pusing pada para mereka yang melakukan unjuk rasa. 

Menurut Koran Tempo; perintah penangkapan ujaran kebencian dan penghinaan bukan berasal dari SBY. Kuat dugaan, reaksi berlebihan terhadap kasus penghinaan presiden lainnya datang dari orang-orang yang merasa bertanggung jawab menjaga martabat presiden, termasuk di antaranya pasukan keamanan presiden dan orang-orang partai.

Sejarah akan mengenang kebesaran hati seorang SBY dalam memperlakukan para pengkritiknya. Bahkan apabila SBY  menggunakan haknya untuk mengadukan ke polisi (karena delik aduan), mungkin ratusan orang sudah diperiksa dan dijadikan tersangka. Barangkali SBY justru tidak bisa bekerja, karena sibuk mengadu ke polisi.

Reformasi adalah saat di mana harapan akan tegaknya demokrasi itu diletakkan. Tentunya juga penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa silam. Namun pada kenyataannya, reformasi masih jauh dari harapan. Perlu kita ingat; ‘Haatzaai artikelen’ sebenarnya adalah pasal-pasal hukum pidana warisan era Hindia Belanda terkait dengan ujaran atau ungkapan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan yang ditujukan terhadap kepentingan Belanda dan/atau kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk komposisi penduduk Hindia Belanda ketika itu.

Batu, 19 juni 2020

Bagus Rochadi

0 comments:

Post a Comment

Bagus Rochadi. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "