Menjelang duhur kemarin di hubungi Habiba dan temen temen LBH Surabaya pos Malang untuk turun ke lokasi kericuhan. aksi yang semula simpatik, tiba tiba berubah menjadi anarki. Entah apa sebabnya?
Tidak sedikit massa aksi demo yang mengatakan polisi adalah musuh mereka. Bertindak brutal dan beringas. Fasilitas publik dan tidak sedikit pula fasilitas milik pribadi yang turut menjadi korban. Lalu apakah ketika terjadi perusakan, maka aparat keamanan harus diam saja?
Ketika saya datang, situasi sudah tak terkendali. Massa berlarian menuju arah stadion gajayana, sedangkan saya malah melawan arah menuju tugu malang karena khawatir dengan kondisi teman teman saya. Langkah saya terhenti di samping hotel tugu. Tembakan gas air mata membuat mata saya pedih. Diseberang saya massa beringas, dan mulai merusak. 3 motor sempat dibakar. Saya menepi ke arah skodam. Berjumpa dengan Bapak Bapak TNI AD, saya meminta agar dibukakan tempat untuk perlindungan adik-adik mahasiswa. Alhamdullilah Beliau memberi izin, bahkan turut membantu menolong beberapa korban.
Menjelang sore, masih sempat berkomunikasi dengan Bapak Kapolrestabes Malang, Bapak Leo Simamarta dan Dandim Malang. Adik adik mahasiswa sudah mulai berkurang. Tapi kami masih bertahan.
Malam hari kami mendapat informasi 129 orang ditangkap. Termasuk Mahasiswa, perempuan dan anak anak dibawah umur. Kami melakukan pendampingan dan pulang dari polresta Malang menjelang subuh. Siang ini pun harus balik lagi kesana.
Elite politik yang bikin aturan, lagi lagi rakyat yang harus jadi korban. Dibentur-benturkan kesana kemari. Harus bagaimana lagi kami berbicara agar anda tidak sekedar mendengarkan? Harus bagaimana lagi anak cucu kami tidak lagi menjadi korban keserakahan para penguasa?
Ada banyak foto dan video. Mungkin akan saya share lagi nanti sebagaian, tapi tidak semua. Biarlah ini menjadi cerita saya pribadi.
Malang, 08 oktober 202
Bagus Rochadi
0 comments:
Post a Comment