Salam Bung...
Hari ini entah kenapa tiba tiba aku penasaran ingin ziarah ke peristirahatan terakhirmu. Ingin menengokmu. Seumur hidupku, ini adalah kali pertama aku ziarah ke Blitar. Setelah 2 tahun yang lalu tanpa sengaja aku pergi ke Kediri, dan berziarah pada sosok idolaku yang dimakamkan di sebuah Desa sunyi dan terpencil, Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Saya merasa terhenyak ketika melihat suasana sekitar pemakamanmu. Begitu megah dan dipadati banyak peziarah. Berbeda dengan sang pejuang Tan Malaka, yang harus menerima fitnah keji di era orde baru. Bahkan dalam pelajaran sejarah tidak aku temukan nama Tan Malaka. Fitnah yang beredar, Beliau adalah seorang komunis dan pemberontak. Meskipun pada kenyataannya Beliau telah menjadi hafidz Quran di usia 16 tahun. Bahkan Beliau tak segan segan berada di garis depan peperangan. Beliau pula lah pencetus konsep Republik Indonesia. Maha karya W.R Supratman melalui lagu Indonesia Raya pun terinspirasi dari tulisan tulisan Tan Malaka yang revolusioner. Beliau pantang berdiplomasi dengan pihak manapun. Baginya, “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya,” Inilah kehebatan orde baru yang harus kita akui dalam mengkebiri nama Tan Malaka.
Bung, apakah ini yang kau cita citakan? Bangsa yang merdeka, mandiri, sejahtera dan berdiri di atas kedua kaki sendiri? Aku tahu Bung, perjalananmu hingga mendapat gelar proklamator cukup terjal. Akan tetapi, sebandingkah perjuangan dan pengorbanan semua bangsa Indonesia dengan ini semua? Korupsi masih merajalela, putusan hukum tajam ke bawah dan tidak pernah berpihak pada rakyat kecil. Tanah tanah milik rakyat dirampas dimana mana demi alasan investasi, yang ternyata tak lebih mereka adalah perompak dan pencuri.
Aku ingin berteriak melampiaskan kegelisahanku padamu, ingin kusampaikan Kendeng nggak butuh pabrik semen. Kulon Progo ndak butuh bandara, Kalimantan pun ndak butuh sawit sawit itu meluas, rakyat Papua butuh hak atas freeport yang dikuras habis habisan, bahkan Munir, Novel, Salim Kancil, dan yang lain lain masih menunggu keadilan para petinggi negeri ini.
Bung, koruptor semakin merajalela dan tak pernah jera. Lihatlah mereka yang telah berseragam oranye masih saja menebar senyum ketika masuk media. Sumber daya alam kita dirampok habis habisan oleh segelintir orang, bahkan tidak sedikit bangsamu yang melacurkan diri, dan rela menggadaikannya demi kesenangan sendiri.
Bung, mungkin kau perlu sedikit tersenyum. Aku ingin bilang padamu selera orang Malaysia yang dulu ingin kau ganyang itu kini semakin rendah. Dulu Bung, Bangsa kita selalu mengekspor guru guru besar ke Malaysia. Eh, lha kok sekarang Malaysia malah banyak mengimport para TeKaWe. Tapi miris Bung, pejuang pejuang Devisa itu sering kali mendapat perlakuan tidak adil, dan Pemerintah kita seoalah tak berdaya. Bahkan Bung, tidak sedikit para penambang devisa itu dipancung tanpa melalui proses pengadilan yang benar.
Bung, aku yakin engkau akan merasa miris ketika melihat kehidupan bangsamu yang aku saksikan kini. Ndak usah jauh jauh Bung. Rakyatmu yang mencari nafkah di area megahnya komplek pemakamanmu di Blitar di dominasi oleh PKL, Tukang Becak, dan para pengemis yang jumlahnya tak terhitung. Bahkan aku yakin, BPS pun tak punya data akurat.
Aku yakin Bung, keadaan di sini tentu berbeda ketika anak anakmu yang sekarang terhormat dengan karir politiknya yang cemerlang datang. Atau para pejabat datang kemari hanya untuk sekedar mencari sensasi. Para pengemis dan tukang becak itu akan diobrak, diberi cuti agar tidak menjadi noda dalam pandangan. Biar ndak kelihatan rusuh dan malu maluin.
Sebenernya Bung, aku mau posting ini agak takut. Takut ditangkap dengan aduan delik UU ITE yang sekarang lagi viral. Tapi Bung, bukankah kebenaran dan kejujuran harus disampaikan...
Maaf Bung, aku hanya gelisah. Aku hanya bisa nulis Bung, karena hanya tulisan yang akan aku tinggalkan sebagai bagian dari history.
Bung, sebagai penutup kulampirkan pula sepenggal lirik lagu Iwan Fals yang pernah memerahkan telinga orang orang orde baru. Mungkin juga akan membuatmu merasa malu, karena sejarah itu akan selalu esa.
Hari ini entah kenapa tiba tiba aku penasaran ingin ziarah ke peristirahatan terakhirmu. Ingin menengokmu. Seumur hidupku, ini adalah kali pertama aku ziarah ke Blitar. Setelah 2 tahun yang lalu tanpa sengaja aku pergi ke Kediri, dan berziarah pada sosok idolaku yang dimakamkan di sebuah Desa sunyi dan terpencil, Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Saya merasa terhenyak ketika melihat suasana sekitar pemakamanmu. Begitu megah dan dipadati banyak peziarah. Berbeda dengan sang pejuang Tan Malaka, yang harus menerima fitnah keji di era orde baru. Bahkan dalam pelajaran sejarah tidak aku temukan nama Tan Malaka. Fitnah yang beredar, Beliau adalah seorang komunis dan pemberontak. Meskipun pada kenyataannya Beliau telah menjadi hafidz Quran di usia 16 tahun. Bahkan Beliau tak segan segan berada di garis depan peperangan. Beliau pula lah pencetus konsep Republik Indonesia. Maha karya W.R Supratman melalui lagu Indonesia Raya pun terinspirasi dari tulisan tulisan Tan Malaka yang revolusioner. Beliau pantang berdiplomasi dengan pihak manapun. Baginya, “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya,” Inilah kehebatan orde baru yang harus kita akui dalam mengkebiri nama Tan Malaka.
Bung, apakah ini yang kau cita citakan? Bangsa yang merdeka, mandiri, sejahtera dan berdiri di atas kedua kaki sendiri? Aku tahu Bung, perjalananmu hingga mendapat gelar proklamator cukup terjal. Akan tetapi, sebandingkah perjuangan dan pengorbanan semua bangsa Indonesia dengan ini semua? Korupsi masih merajalela, putusan hukum tajam ke bawah dan tidak pernah berpihak pada rakyat kecil. Tanah tanah milik rakyat dirampas dimana mana demi alasan investasi, yang ternyata tak lebih mereka adalah perompak dan pencuri.
Aku ingin berteriak melampiaskan kegelisahanku padamu, ingin kusampaikan Kendeng nggak butuh pabrik semen. Kulon Progo ndak butuh bandara, Kalimantan pun ndak butuh sawit sawit itu meluas, rakyat Papua butuh hak atas freeport yang dikuras habis habisan, bahkan Munir, Novel, Salim Kancil, dan yang lain lain masih menunggu keadilan para petinggi negeri ini.
Bung, koruptor semakin merajalela dan tak pernah jera. Lihatlah mereka yang telah berseragam oranye masih saja menebar senyum ketika masuk media. Sumber daya alam kita dirampok habis habisan oleh segelintir orang, bahkan tidak sedikit bangsamu yang melacurkan diri, dan rela menggadaikannya demi kesenangan sendiri.
Bung, mungkin kau perlu sedikit tersenyum. Aku ingin bilang padamu selera orang Malaysia yang dulu ingin kau ganyang itu kini semakin rendah. Dulu Bung, Bangsa kita selalu mengekspor guru guru besar ke Malaysia. Eh, lha kok sekarang Malaysia malah banyak mengimport para TeKaWe. Tapi miris Bung, pejuang pejuang Devisa itu sering kali mendapat perlakuan tidak adil, dan Pemerintah kita seoalah tak berdaya. Bahkan Bung, tidak sedikit para penambang devisa itu dipancung tanpa melalui proses pengadilan yang benar.
Bung, aku yakin engkau akan merasa miris ketika melihat kehidupan bangsamu yang aku saksikan kini. Ndak usah jauh jauh Bung. Rakyatmu yang mencari nafkah di area megahnya komplek pemakamanmu di Blitar di dominasi oleh PKL, Tukang Becak, dan para pengemis yang jumlahnya tak terhitung. Bahkan aku yakin, BPS pun tak punya data akurat.
Aku yakin Bung, keadaan di sini tentu berbeda ketika anak anakmu yang sekarang terhormat dengan karir politiknya yang cemerlang datang. Atau para pejabat datang kemari hanya untuk sekedar mencari sensasi. Para pengemis dan tukang becak itu akan diobrak, diberi cuti agar tidak menjadi noda dalam pandangan. Biar ndak kelihatan rusuh dan malu maluin.
Sebenernya Bung, aku mau posting ini agak takut. Takut ditangkap dengan aduan delik UU ITE yang sekarang lagi viral. Tapi Bung, bukankah kebenaran dan kejujuran harus disampaikan...
Maaf Bung, aku hanya gelisah. Aku hanya bisa nulis Bung, karena hanya tulisan yang akan aku tinggalkan sebagai bagian dari history.
Bung, sebagai penutup kulampirkan pula sepenggal lirik lagu Iwan Fals yang pernah memerahkan telinga orang orang orde baru. Mungkin juga akan membuatmu merasa malu, karena sejarah itu akan selalu esa.
Siang Seberang Istana
Kotak semir mungil dan sama dekil
Benteng rapuh dari lapar memanggil
Gardu dan mata para penjaga
Saksi nyata yang sudah terbiasa
Tamu negara tampak terpesona
Mengelus dada gelengkan kepala
Benteng rapuh dari lapar memanggil
Gardu dan mata para penjaga
Saksi nyata yang sudah terbiasa
Tamu negara tampak terpesona
Mengelus dada gelengkan kepala
Blitar, Akhir november 2018
Bagus Rochadi
Tulisan ini tidak terkait dengan pilpres dan sebangsanya, hanya sebuah kegelisahan anak muda terhadap kondisi bangsanya setelah merdeka.
0 comments:
Post a Comment