Sunday, December 27, 2020

PENGUASA DAN PENJARA

Penjara adalah tempat bagi para kriminal, bukan untuk mereka yang berbeda pandangan.

Kalimat tersebut adalah kutipan dari BJ Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia. Beliau naik tahta karena runtuhnya periode 32 tahun orde baru berkuasa. Menjabat selama 1 tahun 6 bulan adalah waktu yang teramat singkat untuk membenahi kondisi negeri setelah mengalami penjajahan tiga setengah abad lebih, plus carut marut kepemimpinan setelah kemerdekaan di tambah pula sekitar 32 tahun orde baru berkuasa. Sisa-sisa kebobrokan moral masih mengakar kuat. Bahkan hingga saat ini tidak sedikit pejabat kita yang tertangkap oleh praktik korupsi. Belum lagi permasalahan ketidak-adilan perlakuan hukum yang terjadi di negeri kita.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka pernah merasakan kesewenang-wenangan penguasa. Mendapatkan tuduhan sangat keji, dan dimasukkan penjara tanpa melalui proses pengadilan. 

Meski sempat mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Pada pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituan mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin mempengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. 

Usai Masyumi dibubarkan, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Media yang dinahkodai Buya hanya berumur pendek, dibredel oleh Presiden pertama kita karena menerbitkan esai Hata yang berjudul "demokrasi kita." Posisi Hatta sendiri saat itu telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden. 

Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya tanpa pengadilan ke tahanan Sukabumi pada 1964. 

Melalui surat kecil yang diselipkan tanpa sepengetahuan penjaga, Hamka menuliskan alasan penangkapan tersebut dikarenakan mengepalai sekelompok orang, yang didanai Tengku Abdul Rahman, bermaksud membunuh Sukarno. Hamka dituduh memimpin rapat di Tanggerang bersama kawan-kawannya: Gazhali Sahlan, Dalali Umar, dan Kolenel Nasuhi.

Di dalam penjara yang berpindah-pindah tersebut, Hamka merampungkan Tafsir Al-Azhar dalam keadaan sakit sebagai tahanan. Karya Hamka tersebut menjadi fenomenal hingga mendapatkan gelar profesor dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Tafsir 30 juz isi Alquran dengan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami. Lebih menakjubkan, karena ia menyelesaikannya di dalam penjara.

Kebesaran hati seorang Hamka terbukti dalam melaksanakan wasiat terakhir Bung Karno; yang memintanya sebagai imam shalat jenazah saat presiden pertama Republik Indonesia ini meninggal. Wasiat tersebut disampaikan oleh sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, selaku ajudan Presiden Soeharto yang datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Sukarno pada 16 Juni 1970.

Hamka sama sekali tidak menyimpan dendam pada sosok yang menjebloskannya ke dalam penjara, bahkan Hamka bahkan memuji Sukarno yang membangun Masjid Baitul Rahim di Istana Negara dan Masjid Istiqlal. Tidak berhenti disitu, Beliau juga mengatakan bahwa selama dua tahun empat bulan ditahan adalah merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepadanya, sehingga dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz.

Mengutip paragraf terakhir di kata pengantar Hamka pada esai Demokrasi Bung Hatta:

"Tahanan karena fitnah, yang menjadi adat kebiasaan di zaman kepemimpinan negara masa lampau itu.Semoga dengan terbitnya buku ini, di zaman angin baru bagi negara kita telah bertiup dan semangat angkatan ‘66 telah bangkit, keadaan yang muram, suram, dan seram yang telah lalu itu tidak berulang lagi,"

Bagus Rochadi

Ngantang, 25 desember 2020



0 comments:

Post a Comment

Bagus Rochadi. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "